Monday, 16 February 2015

Jiwa Navalisme Laksamana Muda John Lie



"Jangan menjadikan bangsa ini menjadi jongos di negara lain, jongos di kapal-kapal niaga asing...Jadilah bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut, menandingi irama gelombang lautan itu sendiri." (Presiden Soekarno)
Sayangnya, ucapan dan visi navalisme Bung Karno tersebut kandas membentur karang samudera pada masa pemerintahan Presiden selanjutnya yaitu Soeharto yang ketika melantik Kasal di awal 70-an berkata, "Indonesia membutuhkan AL yang kuat, tapi nanti."
Pertanyaanya, nantinya itu kapan? Tenggelamnya visi navalisme ini turut berkontribusi pada lemahnya kondisi kekuatan laut kita dewasa ini. Salah satu cara untuk menggerogoti Angkatan Laut adalah tidak memperkenalkan pahlawan-pahlawan bangsa yang berjuang di samudera. Wajar saja apabila bangsa ini ditanya siapa pahlawan dari Angkatan Laut, maka mulai dari anak SD, SMP hingga SMA akan menjawab hanya satu orang saja, yakni Komodor Yos Soedarso. Adakah yang kenal Wiratno, Memet Sastra Wirya, Sutedi Senodiputra, puluhan atau bahkan ratusan pahlawan Angkatan Laut lainnya?
Figur kepahlawanan Angkatan Laut pun banyak yang sirna bak ditelan gelombang lautan beserta riaknya, salah satunya adalah Laksamana Muda John Lie, yang hilang namanya setelah Orde Baru. Tidak sedikit yang belum mengetahui sosok beliau sekalipun dari anggota Angkatan Laut. Setelah upaya browsing dan membaca beberapa literatur, Penulis mencoba untuk menuangkan kembali peranan Laksamana Muda John Lie dalam merebut dan mengisi kemerdekaan RI.
Pernahkah kita mengenal pahlawan kita ini semenjak di bangku SD, SMP, SMA bahkan perguruan tinggi, sebagaimana kita mengenal Supriyadi dari Blitar, Bung Toha dari Bandung, Bung Tomo dari Surabaya dan masih banyak lagi pahlawan yang sudah terpatri di otak kita sejak anak–anak?
John Lie yang lahir dari keluarga Tionghoa di Manado 9 Maret 1911 ini awalnya merupakan mualim pada pelayaran niaga milik Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatchappij (KPM), yang kemudian bergabung dengan ALRI. Pada masa John Lie bertugas di Cilacap, beliau berhasil membersihkan ranjau yang ditanam oleh Jepang untuk menghalau pasukan sekutu, sehingga atas jasanya ini, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor. Dengan menggunakan kapal motor cepat bernama "The Outlaw", dengan gagah beraninya beliau menembus blokade laut yang dilakukan AL Belanda di sekitar perairan Selat Malaka. Antara kurun waktu 1947 hingga 1949, John Lie berhasil memasok sejumlah besar senjata, amunisi dan obat-obatan kepada para pejuang dan rakyat di Sumatera. Berkat keberaniannya tersebut, "The Outlaw" dijuluki Radio BBC Inggris sebagai "The Black Speedboat" karena kemampuannya beroperasi di malam hari tanpa penerangan dan tidak pernah tertangkap Belanda. Paling sedikitnya sebanyak 15 kali John Lie berhasil melakukan operasi menembus Blokade Belanda.
Semangat Patriotisme
"Siapakah orang pribumi dan non pribumi itu? Orang pribumi adalah orang–orang yang jelas–jelas membela kepentingan negara dan bangsa. Sedangkan non pribumi adalah adalah mereka yang suka korupsi, suka pungli, suka memeras dan melakukan subversi. Mereka itu sama juga menusuk kita dari belakang. Pada hakikatnya mereka tidak mementingkan apalagi membela nasib bangsa kita. Mereka adalah pengkhianat–pengkhianat bangsa. Jadi soal pribumi dan non pribumi bukannya dilihat dari suku bangsa dan keturunan melainkan dari sudut pandang kepentingan siapa yang mereka bela." Pendapat tersebut diungkapkan oleh seorang anak bangsa Laksamana Muda John Lie yang melalui Keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966 dirubah namanya menjadi Jahja Daniel Dharma.
Jiwa nasionalismenya tumbuh seperti apa yang dikatakan Lie dalam majalah LIFE, 26 Oktober 1949:
"When I was a boy, Lie says, "I did wrong. The Lord told me to move on, and I went to the sea. I spent 15 years on Dutch sailing between Durban and Shanghai. But I saw Dutch did wrong, so once again I moved on. I went to the Holy Land. The Gold told me to go home and help make Indonesia a Garden of Eden." It is this that keeps Lie shuttling back and forth on his dangerous voyage, running in arms and bringing out raw materials such as rubber to pay for them.
Selanjutnya Roy Rowan dalam majalah tersebut mengatakan:
His stand recalled the basic government, which begun shortly after the war ended in the Pacific, over whether the Dutch were imposing a trade restriction or a blockade againts Indonesia. Believeng the Dutch were trying to struggle Indonesian Independence, Lie begun his smuggling career. He prays that his country will some day be transformed from "wild jungle" into a "Garden of Eden". But he declares vehemntly "there can be no Dutchmen in a Garden of Eden".
John Lie berpikir, seandainya nanti Indonesia diserang siapa yang akan membela? Siapa lagi kalau bukan putra putrinya! Oleh karena itu beliau sempatkan belajar di Singapura untuk: belajar dari Royal Navy tentang pengamanan dan penyapuan ranjau, belajar taktik pertempuran laut dengan mengingat kembali Perang Dunia II yang meliputi: peranan dan tugas dalam logistic ship, taktik perang laut dimana beliau juga menanamkan pentingnya indonesia memiliki kapal–kapal yang bisa digunakan untuk bergerilya di lautan, serta belajar bergaul dan bersahabat dengan tujuan untuk mempertahankan kemerdekaan RI yang dapat menggugah semangat para pemuda untuk bersukarela berjuang melawan penjajah.
Penumpasan RMS
Menyikapi kegagalan misi perdamaian dan sikap membangkang yang ditunjukan oleh RMS, pemerintah memerintahkan untuk menumpas pemberontakan tersebut. Pada tanggal 1 Mei 1950 Menpangal R.Soebijakto memerintahkan kapal perang ALRI untuk melaksanakan blokade di perairan Ambon. Pelaksanaan blokade oleh kapal–kapal korvet RI Rajawali dengan Komandan Mayor (P) John Lie, RI Pati Unus dengan Komandan Kapten S.Gino, RI Hang Tuah dengan Komandan Mayor Simanjuntak. Pendaratan di P.Buru dilaksanakan tanggal 13 Juli 1950 dan ALRI mengerahkan kekuatan eskader-eskader ALRI di bawah Komando Mayor Pelaut John Lie, dilanjutkan dengan pendaratan di P.Seram dan P.Piru. Melalui tiga titik pendaratan ini yang dibantu dengan kekuatan gabungan TNI, pasukan RMS mulai terdesak, tetapi ada sebagian kota pesisir yang masih mereka kuasai.
Akhirnya pendaratan penyerbuan dilaksanakan melibatkan ketiga angkatan. Dari ALRI di bawah Komandan Mayor (P) John Lie, terdiri dari RI Rajawali, RI Hangtuah, RI Banteng, RI Patiunus, RI Namlea, RI Piru, RI Andhis, RI Anggang, RI Amahi, kapal rumah sakit, 10 LCVP, 3 buah LCM, 2 LST, 3 KM. Pada tanggal 15 November 1950, pembersihan dalam kota Ambon selesai.
Penumpasan DI/TII
Pemberontakan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pertama kali muncul di Jawa Barat pada tahun 1949 di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Namun kemudian pengaruh DI meluas hingga ke Aceh pada tahun 1950 dipimpin oleh Teuku Daud Beureuh dan di Sulawesi Selatan pada tahun 1953 di bawah pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar. Untuk menumpas pemberontakan tersebut, pemerintah menggelar operasi militer dan operasi pemulihan keamanan yang melibatkan seluruh elemen pertahanan terkait, termasuk ALRI yang menggelar operasi patroli pantai dipimpin oleh Mayor (P) John Lie.
Operasi penumpasan di Sulawesi adalah Operasi Tri Tunggal, Operasi Malino dan Operasi Jaya Sakti bulan Oktober 1955. Dalam operasi ini, ALRI melibatkan beberapa kapal perang, di antaranya RI Rajawali dan 1 kompi KKO AL serta didukung oleh sebuah kapal angkut milik jawatan pelayaran. Dalam Operasi Tri Tunggal, diadakan pendaratan di sekitar Sungai Wawo, Sulawesi Tenggara. Operasi keamanan di Malino dilaksanakan oleh Datasemen KKO AL untuk mengamankan jalan raya antara Makassar dengan Malino. Operasi Jaya Sakti bertujuan untuk melaksanakan patroli keamanan wilayah dan pembersihan sisa-sisa pengikut DI/TII oleh 1 kompi pasukan KKO AL.
Penumpasan PRRI / Permesta
Pemerintah menggelar operasi untuk menumpas Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia di Sumatera dan Perjuangan Semesta di Sulawesi tahun 1958 dengan Komandan Operasi Kolonel Ahmad Yani, Wadan I Letkol (P) John Lie, Wadan II Letkol (U) Wiriadinata. Pada dasarnya terdapat 3 kegiatan pokok operasi pendaratan untuk menumpas PRRI yaitu Operasi Tegas, Operasi 17 Agustus dan Operasi Kurusetra. Operasi Tegas merupakan operasi gabungan untuk merebut Riau Daratan. Dalam proses ini ALRI membentuk Amphibious Task Group-27 I (ATG-27 I). Unsur ALRI yang terlibat diantaranya RI Banteng, RI Sawega, 2 kapal baru selam, 3 Penyapu Ranjau serta 1 kompi KKO AL. Operasi 17 Agustus bertugas menghancurkan pemberontak di Sumatra Barat. Dalam Operasi ini ALRI membentuk Amphibious Task Force-17 (ATF-17) yang dipimpin Letkol (P) John Lie, dan melibatkan RI Gajah Mada, RI Banteng, RI Pati Unus, RI Cepu, RI Sawega dan RI Baumasepe, serta 1 Yon KKO AL. Kapal-kapal melakukan bombardemen sekitar Kota Padang dan kemudian mengadakan operasi pendaratan pasukan KKO AL. Operasi Kurusetra merupakan operasi pembersihan sisa-sisa pemberontak di Air Bangis, Sasak dan Pasaman. Untuk pendaratan di tempat tersebut, ALRI membentuk Amphibious Task Unit-42 (ATU-42). Unsur ALRI yang terlibat di antaranya RI Katula, RI Lajuru, RI Lapai dan 1 kompi KKO AL. Pasukan KKO AL berhasil menghancurkan basis pemberontak di sepanjang Air Bangis dan Pasaman. Operasi-operasi tersebut berhasil menghancurkan kekuatan moril dan militer PRRI.
Setelah Permesta 1958 - 1959, John Lie setahun berada di India dalam tugas belajar di Defence Service Staff College, Wellington South India. Tahun 1960, John Lie menjadi anggota DPR GR dari Angkatan Laut. Tahun 1960 – 1966 menjadi Kepala Inspektur Pengangkatan Kerangka – Kerangka Kapal di seluruh Indonesia. Sebelumnya, pada Tanggal 5 Oktober 1961, Presiden Soekarno menganugerahkan tanda jasa Pahlawan kepadanya.
Itulah John Lie, pejuang prajurit dan prajurit pejuang, yang walaupun hanya lulusan akademi revolusi fisik dan tak pernah menduduki bangku Akademi Angkatan Laut, Seskoal dan Lemhanas, namun telah berjasa amat besar bagi bangsa dan negara.
Kesimpulan
Semangat patriotisme John Lie yang sebelum masuk Angkatan Laut sudah berjuang menyelundupkan senjata untuk perjuangan bangsa membuatnya dijuluki "The Great Smuggler with Bible".
John Lie adalah seorang nasionalis yang mencintai dan menempatkan negara dan bangsa di atas segala–galanya dan rela mengorbankan jiwa dan raganya dalam melawan blokade Belanda, penumpasan RMS & PRRI/Permesta. John Lie dikenal sebagai orang yang jujur, sederhana dan sangat memperhatikan kesejahteraan anak buahnya.
Semoga bangsa Indonesia ini dapat lebih menghargai dan meneladani pendahulu-pendahulunya yang berjuang tanpa pamrih. Sangat disayangkan apabila perjuangan mereka tidak dikenal oleh bangsanya sendiri. Bangsa Indonesia yang dimaksud bukan saja rakyat biasa, namun juga para pengemban amanat rakyat hasil Pemilu ini nanti.

No comments:

Post a Comment

Gungho Band batalyon infanteri -1 marinir (pergi demi tugas pulang untuk cinta)

Lagu Lagu Kopasus

Derap Langkah