Belum pernah dalam sejarah perjiranan selama lebih 4 dekade dilontarkan pernyataan bernada provokatif dari seorang Menlu Malaysia agar pemerintah Indonesia segera menghentikan aksi-aksi demo warga negaranya sebab kalau tidak kesabaran rakyat Malaysia ada batasnya, Wow, apa pasal ni Pak Cik, bukankah sebab musababnya perkara ini adalah penangkapan 3 orang petugas KKP Indonesia oleh Polis Marine Malaysia di perairan Indonesia. Lalu akibatnya ada demo ikhwan nasionalis di Kedubes pakai lempar kotoran manusia. Akibat perkara dimegaphonekan di media Malaysia, sementara sebab perkara tak tampak di depan mata walau sebesar gajah.
Bukankah ini arogansi dari sebuah etika bertetangga, bukankah ini statemen keangkuhan dari sebuah negeri yang sudah merasa lebih makmur, atau memang sengaja dikumandangkan sebagai bagian dari uji nyali kepada tetangganya yang sepuluh kali lebih besar dari dirinya. Kalau dibandingkan dengan cara bertetangga dari seluruh warga dunia, mungkin hanya pertetanggaan rakyat Indonesia dan Malaysia yang paling heboh hiruk pikuknya. Inggris dan Perancis walau ada gengsi sejarah, tidak juga seriak dengan dua bangsa serumpun ini.
Membandingkan dinamika Indonesia dan Malaysia bisa juga ditarik dengan melihat pola hubungan India – Pakistan yang posisi jumlah penduduknya 10 :1. Sama-sama dimerdekakan Inggris lalu berpisah karena perbedaan agama, sepanjang sejarahnya mereka telah berperang sebanyak 2 kali. Yang terakhir mengakibatkan Pakistan Timur menjadi Bangladesh tahun 1971. Sepanjang persaingan itu keduanya melakukan lomba persenjataan dan akhirnya sama-sama punya senjata nuklir. Dalam dinamika itu Pakistan terlihat lebih agressif, lebih cerewet dan banyak melakukan manuver gertak sambal. Terakhir ketika ada penembakan oleh teroris di Bombay hampir saja terjadi perang antara kedua bangsa, namun India mampu meredam emosinya dengan menahan diri dan mengelus dada.
Nyali Malaysia agak mirip dengan agresivitas Pakistan, biasalah yang lebih kecil biasanya lebih banyak sundulannya agar kelihatan lebih jago. India cenderung lebih kalem namun secara diam-diam memperkuat militernya menjadi seperti yang sekarang ini.
Malaysia merasa dia lebih kuat militernya dibanding Indonesia hanya karena arsenalnya lebih modern, tapi dia lupa spirit tempur bukan ditentukan oleh kelengkapan senjata. Ingat sejarah terusirnya AS di Vietnam atau Rusia dan Afghanistan, apa yang kurang dari dua negara besar ini, senjatanya luar biasa dan modern tapi kalah juga. Jangan lupa Angkatan Udara tidak dapat memenangkan pertempuran, ibu dari segala perang adalah Angkatan Darat.
Seandainya Leadership kita tegas dan tanggap dalam menjawab dinamika perkembangan yang terjadi dengan Malaysia, kita yakin nyali Malaysia tak sampai memberi kesan kita pecundang dia pemenang. Tegas bukan berarti ngajak perang tapi kekuatannya terletak pada kegagahan diplomasi. Bisa saja diucapkan statemen seperti ini: “Dinamika bertetangga adalah mengawal hubungan atas dasar kepentingan bersama. Manakala pola ini dicederai dengan statemen provokatif, maka Indonesia akan lebih memperhatikan harga dirinya sebagai bangsa. Kami juga tidak segan-segan untuk menarik seluruh TKI yang ada di Malaysia atau melakukan travel warning bagi warga kami yang akan bepergian ke Malaysia. Kami memang masih kalah makmur dengan Malaysia, kami sudah terbiasa hidup susah, namun harga diri dan rasa nasionalis bangsa kami sudah terbukti dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Oleh sebab itu jangan coba-coba memprovokasi bangsa dan rakyat kami karena tindakan balasan kami akan memberi rasa kejut yang tak terduga”.
Seandainya statemen itu yang digemakan di Mabes TNI, kita sangat yakin nyali Malaysia akan ciut dan tidak lagi melontarkan statemen bernada ancaman. Argumennya sederhana, Negara baru makmur atau orang kaya baru biasanya banyak polah, banyak tingkah dan pamer diri untuk sebuah pengakuan, namun ruang nyalinya rapuh karena takut ini dan takut itu.
Sumber : http://analisisalutsista.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment