Badan Keamanan Rakyat
Laut
Dibentuknya Badan Keamanan Rakyat Laut (BKR Laut) pada
tanggal 10 September 1945 oleh administrasi kabinet awal Soekarno menjadi
tonggak penting bagi kehadiran Angkatan Laut di Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Terbentuknya BKR
Laut ini dipelopori tokoh-tokoh bahariawan veteran yang pernah bertugas di
jajaran Koninklijke Marine selama masa penjajahan Belanda dan veteran Kaigun
selama masa pendudukan Jepang. Faktor lain yang mendorong terbentuknya badan
ini adalah adanya potensi yang memungkinkan untuk menjalankan fungsi Angkatan
Laut seperti kapal-kapal dan pangkalan, meskipun pada saat itu Angkatan
Bersenjata Indonesia belum terbentuk.
Tentara Keamanan
Rakyat Laut
Terbentuknya organisasi militer Indonesia yang dikenal sebagai
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) turut memacu keberadaan TKR Laut yang selanjutnya
lebih dikenal sebagai Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), dengan segala
kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya. Sejumlah Pangkalan Angkatan Laut
terbentuk, kapal - kapal peninggalan Jawatan Pelayaran Jepang diperdayakan, dan
personel pengawaknya pun direkrut untuk memenuhi tuntutan tugas sebagai penjaga
laut Republik yang baru terbentuk itu. Kekuatan yang sederhana tidak
menyurutkan ALRI untuk menggelar Operasi Lintas Laut dalam rangka
menyebarluaskan berita proklamasi dan menyusun kekuatan bersenjata di berbagai
tempat di Indonesia. Disamping itu mereka juga melakukan pelayaran penerobosan
blokade laut Belanda dalam rangka mendapatkan bantuan dari luar negeri.
Kepahlawanan prajurit samudera tercermin dalam berbagai
pertempuran laut dengan Angkatan Laut Belanda di berbagai tempat seperti
Pertempuran Selat Bali, Pertempuran Laut Cirebon, dan Pertempuran Laut Sibolga.
Operasi lintas laut juga mampu menyusun pasukan bersenjata di Kalimantan
Selatan, Bali, dan Sulawesi. Keterbatasan dalam kekuatan dan kemampuan
menyebabkan ALRI harus mengalihkan perjuangan di pedalaman, setelah sebagian
besar kapal ditenggelamkan dan hampir semua pangkalan digempur oleh kekuatan
militer Belanda dan Sekutu. Sebutan ALRI Gunung kemudian melekat pada diri
mereka. Namun tekad untuk kembali berperan di mandala laut tidak pernah surut.
Dalam masa sulit selama Pereang Kemerdekaan ALRI berhasil membentuk Corps
Armada (CA), Corps Marinier (CM), dan lembaga pendidikan di berbagai tempat.
Pembentukan unsur - unsur tersebut menandai kehadiran aspek bagi pembentukan
Angkatan Laut yang modern.
Pascapengakuan
kedaulatan
Berakhirnya Perang Kemerdekaan menandai pembangunan ALRI
sebagai Angkatan Laut modern. Sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB),
sejak tahun 1949, ALRI menerima berbagai peralatan perang berupa kapal - kapal
perang beserta berbagai fasilitas pendukungnya berupa Pangkalan Angkatan Laut.
Langkah ini bersamaan dengan konsilidasi di tubuh ALRI, pembenahan organisasi,
dan perekrutan personel melalui lembaga pendidikan sebelum mengawaki peralatan
matra laut. Selama 1949-1959 ALRI berhasil menyempurnakan kekuatan dan
meningkatkan kemampuannya. Di bidang Organisasi ALRI membentuk Armada, Korps
Marinir yang saat ini disebut sebagai Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL),
Penerbangan Angkatan Laut dan sejumlah Komando Daerah Maritim sebagai komando
pertahanan kewilayahan aspek laut. Peralatan tempur ALRI pun bertambah baik
yang berasal dari penyerahan Angkatan Laut Belanda maupun pembeliandari
berbagai negara. Penyiapan prajurit yang profesional pun mendapatkan perhatian
yang besar dengan pendirian lembaga pendidikan untuk mendidik calon - calon
prajurit strata tamtama, bintara, dan perwira, serta pengiriman prajurit ALRI
untuk mengikuti pendidikan luar negeri.
Dengan peningkatan kekuatan dan kemampuan tersebut, ALRI
melai menyempurnakan strategi, taktik, maupun teknik operasi laut yang langsung
diaplikasikan dalam berbagai operasi militer dalam rangka menghadapi gerakan
separatis yang bermunculan pada tahun - tahun 1950 hingga 1959. Dalam operasi
penugasan PRRI di Sumatera, Permesta di Sulawesi, DI/TII di Jawa Barat, dan RMS
di Maluku, ALRI memperoleh pelajaran dalam penerapan konsep operasi laut,
operasi amfibi, dan operasi gabungan dengan angkatan lain.
Penambahan kekuatan
Pada saat kondisi negara mulai membaik dari ancaman
desintegrasi, pada tahun 1959 ALRI mencanangkan program yang dikenal sebagai
Menuju Angkatan Laut yang Jaya. Sampai tahun 1965 ALRI mengalami kemajuan yang
cukup signifikan. Hal ini dilatarbelakangi oleh politik konfrontasi dalam
rangka merebut Irian Barat yang dirasa tidak dapat diselesaikan secara
diplomatis. Berbagai peralatan tempur Angkatan Laut dari negara Eropa Timur memperkuat
ALRI dan menjadi kekuatan dominan pada saat itu. Beberapa mesin perang yang
terkenal di jajaran ALRI antara lain kapal penjelajah (cruiser) RI Irian, kapal
perusak (destroyer) klas 'Skory', fregat klas 'Riga', Kapal selam klas
'Whisky', kapal tempur cepat berpeluru kendali klas 'Komar', pesawat pembom
jarak jauh Ilyushin IL-28, dan Tank Amfibi PT-76. Dengan kekuatan tersebut pada
era tahun 1960-an ALRI disebut - sebut sebagai kekuatan Angkatan Laut terbesar
di Asia.
Trikora
Ada beberapa operasi laut selama operasi pembebasan Irian
Barat yang dikenal dengan sebutan Operasi Trikora itu. Pada awal Trikora
digelar, kapal -kapal cepat torpedo ALRI harus berhadapan dengan kapal- kapal
perusak, fregat, dan pesawat Angkatan Laut Belanda di Laut Aru pada tanggal 15
Januari 1962. Komodor Yos Soedarso beserta RI Macan Tutul tenggelam pada
pertempuran laut tersebut. Peristiwa yang kemudian dikenang sebagai Hari Dharma
Samudera itu memacu semangat untuk merebut Irian Barat secara militer. Pada
saat itu ALRI mampu mengorganisasikan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi
amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia. Tidak kurang dari 100
kapal perang dan 16.000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut. Gelar
kekuatan tersebut memaksa Belanda kembali ke meja perundingan dan dicapai
kesepakatan untuk menyerahkan Irian Barat ke pangkuan RI.
Dwikora
Politik konfrontasi RI dalam melawan Neo Kolonialisme dan
Imperialisme (Nekolim) dilanjutkan pada Operasi Dwikora untuk menentang
pembentukan negara Malaysia. Meskipun unsur - unsur Angkatan Bersenjata RI
telah disiapkan dalam operasi tersebut, namun operasi hanya sebatas pada
operasi infiltrasi. Prajutir - prajurit ALRI dari kesatuan KKO-AL terlibat
dalam tahap ini. Sementara unsur - unsur laut menggelar pameran bendera dalam
rangka mengimbangi provokasi oleh kekuatan laut negara - negara sekutu. Operasi
Dwikora tidak dilanjutkan seiring dengan suksesi pemerintahan di Indonesia
pasca Pemberontakan G 30 S/PKI.
Sejak tahun 1966 ALRI yang kemudian disebut dengan TNI AL
mengalami babak baru dalam perjalanan sejarahnya seiring dengan upaya integrasi
ABRI. Dengan adanya integrasi ABRI secara organisatoris dan operasional telah
mampu menyamakan langkah pada pelaksanaan tugas di bidang pertahanan dan
keamanan sehingga secara doktrinal, arah pengembangan kekuatan dan kemampuan
setiap angkatan menjadi terpusat. Kegiatan operasi yang menonjol pada kurun
waktu 1970-an adalah Operasi Seroja dalam rangka integrasi Timor Timur kepada
RI. TNI AL berperan aktif dalam operasi pendaratan pasukan, operasi darat
gabungan, dan pergeseran pasukan melalui laut.
Modernisasi
Mulai dasawarsa 1980-an TNI AL melakukan langkah modernisasi
peralatan tempurnya, kapal - kapal perang buatan Eropa Timur yang telah menjadi
inti kekuatan TNI AL era 1960 dan 1970-an dinilai sudah tidak memenuhi tuntutan
tugas TNI AL. Memburuknya hubungan RI - Uni Sovyet pasca pemerintahan Presiden
Soekarno membuat terhentinya kerja sama militer kedua negara. Oleh karena itu
TNI AL beralih mengadopsi teknologi Barat untuk memodernisasi kekuatan dan
kemampuannya dengan membeli kapal - kapal perang dan peralatan tempur utama
lainnya dari berbagai negara, diantaranya Korvet berpeluru kendali kelas
'Fatahillah'dari Belanda, Fregat berpeluru kendali klas 'Van Speijk' eks- AL
Belanda, Kapal selam klas 209/1300 buatan Jerman Barat, Kapal tempur cepat
berpeluru kendali klas'Patrol Ship Killer' buatan Korea Selatan, dan Pesawat
Patroli Maritim 'Nomad-Searchmaster'eks-Angkatan Bersenjata Australia.
Kegiatan non-tempur
Pada saat yang sama TNI AL mengembangkan militer non tempur
yang berupa operasi bakti kemanusiaan Surya Bhaskara Jaya di berbagai daerah
terpencil di Indonesia yang hanya bisa dijangkau lewat laut. Operasi ini
berintikan kegiatan pelayanan kesehatan, pembangunan dan rehabilitasi sarana
publik, dan berbagai penyuluhan dibidang kesehatan, hukum, dan bela negara.
Kegiatan ini dilaksanakan secara rutin setiap tahun hingga sekarang. Sejumlah
negara juga pernah berpartisipasi dalam kegiatan tersebut antara lain
Singapura, Australia dan Negara Amerika Serikat. TNI AL juga berupaya
menggalakan pembangunan sektor kelautan jauh sebelum Departemen Kelautan
terbentuk, khususnya yang berhubungan dengan aspek pertahanan dan keamanan di
laut. Kegiatan - kegiatan nyata yang dilakukan TNI AL adalah mendirikan badan -
badan pengkajian pembangunan kelautan bersama - sama dengan pemerintah dan
swasta di beberapa daerah, program desa pesisir percontohan yangterangkum dalam
Pembinaan Desa Pesisir (Bindesir), dan program Pembinaan Potensi Nasional menjadi
KekuatanMaritim (Binpotnaskuatmar). Dalam rangka menggelorakan jiwa bahari
bangsa, TNI AL menggelar event kelautan skala internasional yaitu Arung
Samudera 1995 yang berintikan Lomba Kapal Layar Tiang Tinggi dan perahu layar.
TNI AL juga menjadi pendukung utama dicanangkan Tahun Bahari 1996 dan Deklarasi
Bunaken 1998 yang merupakan manifestasi pembangunan kelautan di Indonesia.
Era 1990-an
Selama dasawarsa 1990-an TNI AL mendapatkan tambahan
kekuatan berupa kapal - kapal perang jenis korvet klas 'Parchim', kapal
pendarat tank (LST) klas 'Frosch', dan Penyapu Ranjau klas Kondor.Penambahan
kekuatan ini dinilai masih jauh dari kebutuhan dan tuntutan tugas, lebih -
lebih pada masa krisis multidimensional ini yang menuntut peningkatan operasi
namun perolehan dukungannya sangat terbatas. Reformasi internal di tubuh TNI
membawa pengaruh besar pada tuntutan penajaman tugas TNI AL dalam bidang
pertahanan dan keamanan di laut seperti reorganisasi dan validasi Armada yang
tersusun dalam flotila - flotila kapal perang sesuai dengan kesamaan fungsinya
dan pemekaran organisasi Korps Marinir dengan pembentukan satuan setingkat
divisi Pasukan Marinir-I di Surabaya dan setingkat Brigade berdiri sendiri di
Jakarta. Pembenahan - pembenahan tersebut merupakan bagian dari tekad TNI AL
menuju Hari Esok yang Lebih Baik.
No comments:
Post a Comment